Kabupaten wajo terletak di Ibu Kota Sengkang, Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah ± 2.504,06Km2.
Lambang dari Kabupaten Wajo mengandung arti yang mendalam bagi sejarah dan struktur dari daerah Wajo itu sendiri. Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu. Sengkang yang Kini merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo yang terletak kurang lebih 250 km dari Makassar yang merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Yang sejak dulu dikenal sebagai kota tempat perdagangan karena masyarakatnya yang sangat pandai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, barang elektronik, kain dan sarung bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Kota Sengkang menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan.
Disamping dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera menjadikan ibukota Kabupaten Wajo semakin akrab ditelinga dan hati orang-orang yang pernah berkunjung ke kota ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung sutera Sengkang sudah sangat dikenal bahkan hingga kemancanegara.
Melihat ke
masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola persuteraan sudah
dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan
maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri
menegah.
Hampir
disetiap kecamatan di daerah Sengkang ditemukan kegiatan persuteraan Proses
pembuatannya masih tradisional yang pengerjaany apun menghabiskan waktu kurang
lebih 1 (satu) bulan dimulai dari pemilihan bahan sutera, pemisahan benang
sampai proses penenunan. Benang yang dihasilkan dari ulat sutra diberi pewarna
alami yang bersumber dari alam dengan melalui beberapa kali proses pencelupan
sampai menghasilkan kualitas warna yang baik dan tahan lama. Setelah itu,
benang sutra yang telah diwarnai ditenun sesuai dengan motif yang diinginkan. Untuk
1 buah sarung sutera dihargai sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp.
1.000.000,- tergantung dari motif dan bahan. Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan
"Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain
sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun
tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang
diproduksi seperti motif "Balo
Tettong" (bergaris atau tegak), motif
"Makkalu” (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif
"Balo Renni" (berkotak kecil).
Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan
"Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang
tambahan yang mirip dengan kain Damas.
Melihat
Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965 seorang tokoh perempuan
yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua" Wajo yaitu Datu Hj.
Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru
dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai SIlk) dalam
skala besar.
Beliau juga
mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan
alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai
ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas
tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memicu ketekunan dan membuka
wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan
kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo. Yang hingga saat ini Sarung sutera
menjadi ciri khas dari kota Sengkang.
0 komentar:
Posting Komentar